Jakarta, Beritalkcom - Zakaria Burhanuddin mendapat perintah penting dari pemerintah pusat di Jakarta untuk membiarkan lewat serangkaian kereta api yang memuat 90 anggota Kaigun yang akan melintas di Stasiun Bekasi beberapa waktu lagi.“Rencananya para tentara Jepang yang telah menyerah itu akan dibawa ke lapangan terbang Kalijati, di Subang untuk berikutnya akan dipulangkan ke Jepang,” tulis Ali Anwar dalam buku, KH.Noeralie: Kemandirian Ulama Pejuang.
Alih-alih membiarkan kereta api tersebut melintasi wilayah bekasi, Wakil Komandan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Bekasi kala itu malah memerintahkan Kepala Stasiun Bekasi mengalihkan jalur perlintasan kereta api dari jalur dua ke jalur satu yang merupakan jalur buntu. Akibatnya, lokomotif yang menggandeng sembilan gerbong (termasuk tiga gerbong yang memuat 90 anggota Kaigun) terpaksa berhenti, tepat di mulut Kali Bekasi.
Begitu kereta api berhenti, masyarakat dan pejuang Bekasi langsung melakukan pengepungan. Suasana mencekam saat Letnan Dua Zakaria dan beberapa pengawalnya naik ke atas kereta api tersebut dan menanyakan surat izin dari Pemerintah Republik Indonesia (RI). “Mereka menunjukan surat jalan dari Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo yang dibubuhi tanda tangan Presiden Sukarno,” tulis Ali Anwar
Di tengah pemeriksaan, tiba-tiba seorang prajurit Kaigun meletuskan tembakan pistol dari arah salah satu gerbong tersebut. Tembakan itu ibarat aba-aba komando bagi massa rakyat dan pejuang untuk menyerbu. Maka tumpah ruahlah ratusan orang memasuki kereta api itu dengan membawa berbagai macam senjata. Setelah melalui pertempuran kecil, beberapa menit kemudian, massa berhasil menguasai kereta api. Mereka merampas barang-barang yang ada di dalamnya (termasuk ratusan pucuk senjata) dan memasukan 90 tawanan berkebangsaan Jepang itu ke sebuah sel yang berada di belakang gedung Stasiun Bekasi. Empat jam kemudian, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Komandan Resimen V TKR Mayor Sambas, massa rakyat dan pejuang lantas menggiring para tawanan perang itu ke tepian Kali Bekasi. Satu persatu, serdadu malang itu disembelih dan mayatnya dihanyutkan ke dalam sungai. “Kali Bekasi sampai berwarna merah karena darah yang keluar dari tubuh para serdadu Jepang itu,”
Setelah mengetahui peristiwa itu, Laksamana Muda Maeda menjadi berang. Dalam nada sangat marah, Komandan Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang itu melayangkan protes keras kepada Pemerintah RI.
Menanggapi protes keras dari Maeda, Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo bersama seorang staf Departemen LuarNegeri RI bernama Boediarto lantas menghadap Maeda.
Dalam pertemuan itu,keduanya harus “ikhlas” menjadi sasaran amarah sang laksamana. Kombes Soekanto berusaha tidak terpancing amarah yang dilontarkan Maeda itu.Setelah meminta maaf terlebih dahulu, ia kemudian mengatakan bahwa Insiden Stasiun Bekasi tersebut di luar kemampuan Pemerintah RI. “ Memang benarhanya Pemerintah RI yang memiliki hak melakukan hukuman mati, tapi seperti yang Tuan ketahui, Bekasi merupakan daerah yang belum sepenuhnya tunduk kepada hukum Pemerintah Republik Indonesia,” demikian penjelasan Soekantoseperti dikutip dalam Material on Japanese Military Administration in Indonesia yangdikeluarkan oleh Institut Ilmu Sosial Universitas Waseda, Jepang.
Setelah dilakukan pendekatan politik secara intens oleh Pemerintah RI, Maedaakhirnya dapat dibuat maklum. Namun, ia memberi catatan bahwa kejadian ituharus menjadi yang terakhir dan Pemerintah RI wajib mengantisipasi terjadinyainsiden serupa secara serius. “ Jika dibiarkan saja, maka tak mustahil kejadian diBekasi itu akan merajalela di mana-mana,” ungkap Maeda.Sebagai bentuk tanggungjawab terhadap insiden tersebut, pada 25 Oktober 1945,Presiden Sukarno berkunjung ke Bekasi.
Di depan rakyat Bekasi, ia memohon agarrakyat menaati setiap perintah yang datang dari Pemerintah RI dan melarangkeras para pejuang untuk melakukan lagi upaya-upaya pencegatan kereta api tersebut, masyarakat Bekasi digegerkan dengan isu berkeliarannya arwahpenasaran 90 serdadu itu. Menurut Dullah, isu itu sempat mempengaruhi rakyatBekasi (termasuk anggota TKR dan lasykar) hingga begitu memasuki malam,Bekasi menjadi kota yang sangat sunyi karena setiap orang enggan keluar rumah.Robert B. Cribb merekam gejala itu dalam bukunya Para Jago dan KaumRevolusiener Jakarta 1945-1949
Seperti di kutip dari artikel historia.id