Beritalk.com - PM Belanda Mark Rutte menyatakan pengakuannya terhadap 17 Agustus 1945 di sela perdebatan di Parlemen Belanda. Pengakuan resmi pertama sejak 78 tahun. Sebelumnya, 15 anggota parlemen yang masing-masing mewakili partainya mempersoalkan setidaknya tiga hal terkait penelitian bertajuk “Onafhankelijkheid, Dekolonisatie, Geweld en Oorlog in Indonesië, 1945-1950” (Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950) sejak 2017 dan hasilnya dalam publikasi penelitian tiga lembaga Belanda medio Februari 2022 lalu, yang menyebutkan adanya kekerasan ekstrem militer Belanda yang terstruktur.
“Kekerasan ekstrem”, bukan “kejahatan perang”. Kedua, adalah soal tanggung
jawab dan permintaan maaf pemerintah terhadap para korban dan veteran
Belanda itu sendiri. Ketiga, soal kompensasi dan rehabilitasi para veteran perang
yang dianggap penjahat perang.
PM Rutte sendiri hadir didampingi Menteri Luar Negeri Wopke Hoekstra dan
Menteri Pertahanan Kajsa Ollorongren. Selain memberikan pernyataan
permintaan maaf atas terjadinya kekerasan ekstrem, PM Rutte menyampaikan
pengakuannya terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945 –pernyataan resmi pertama
pemerintah Belanda setelah 78 tahun– ketika menjawab pertanyaan anggota
parlemen dari Partai GroenLinks, Corinne Ellemeet terkait pengakuan terhadap
kemerdekaan RI.
“Kami sepenuhnya sudah mengakui 17 Agustus zonder voorbehaud (tanpa
keraguan/keberatan). Saya masih akan cari jalan keluar bersama presiden (RI)
untuk mencari cara terbaik agar bisa diterima kedua pihak,” ujar PM Rutte
sebagaimana yang diterjemahkan kolega Arjan Onderdenwinjgaard.
Pernyataan PM Rutte itu jadi permulaan baru untuk membuka lebih terang
sejarah hubungan kedua negara. Terkait pengakuan 17 Agustus 1945,
sebelumnya Menlu Belanda Ben Bot pada 2005 juga sudah mengakui proklamasi
kemerdekaan itu walau secara de facto semata, sementara pemerintah Belanda
masih keukeuh menyatakan Indonesia meraih kedaulatannya pada 27 Desember
1949.
Kendati begitu, bukan berarti PM Rutte mengakui adanya kejahatan perang yang
dilakukan militer Belanda selama periode 1945-1949 secara yuridis.
“Masa kekerasan itu terjadi sebelum Konvensi Jenewa. Kesimpulannya kami tidak
setuju itu kejahatan perang secara yuridis. Secara moral, ya, tapi tidak secara
yuridis,” tukas Rutte.
Sumber artikel historia.id