Beritalk.com - Edi B. Somad masih ingat betul situasi di Bekasi 73 lampau kala kota di pinggiran timur Jakarta itu mendadak bagaikan inferno (neraka) pada 13 Desember 1945, adalah area Kayuringin, Pasar Bekasi, Kampung Duaratus, Kampung Tugu. Hampir semua habis jadi debu,” kenang veteran berusia 90 tahun itu saat ditemui Historia di kediamannya di Tambun Selatan, akhir November 2018. Ratusan permukiman warga ludes dilahap api. Puluhan ribu warga sipil dipaksa mengungsi ke luar kota dalam peristiwa yang dikenal sebagai Bekasi Lautan Api itu.
Segenap elemen bersenjata republik, baik Tentara Keamanan Rakyat (TKR) maupun laskar, memilih tak meladeni amukan Sekutu yang merangsek dari garis demarkasi di Cakung dan maju hingga ke Gedung Tinggi (kini Gedung Juang) Tambun. “Gara-garanya itu, para awak pesawat (Sekutu) dieksekusi,” lanjutnya
Dipicu Insiden Pesawat Dakota Sejak ditentukannya garis demarkasi di Kali Cakung pada 19 November 1945, kedua belah pihak yang bertikai acapkali melanggar. Serdadu-serdadu Sekutu beberapa kali mengganggu pintu gerbang RI yang dikawal beragam laskar dan TKR Batalyon V Resimen VI Divisi Siliwangi pimpinan Mayor Sambas Atmadinata itu.Pemicunya bermula dari sebuah Pesawat Dakota milik Sekutu yang mendarat darurat karena kerusakan mesin di Rawa Gatel, Cakung, 23 November 1945. “Sebuah pesawat pengintai sempat melaporkan kedua kru (RAF) dan para penumpangnya selamat,” tulis Richard McMillan menyebutkan dalam The British Occupation of Indonesia: 1945-1946. Pesawat itu terbang dari Pangkalan Udara (Lanud) Kemayoran menuju Lanud Kalibanteng (Semarang).
“Penumpangnya 26 orang. Dua orang Inggris (kru pilot RAF), dua orang Belanda, dan 22 orang tentara Gurkha. Pas kejadian itu, sebenarnya saya sedang tugas jaga pos di Stasiun Bekasi. Saya mendengar kabar itu dari laporan lima warga dari Cakung yang datang ke pos saya,” ujar Edi. Bersama kelima warga tersebut, Edi dan beberapa rekannya lalu mendatangi lokasi kejadian. Namun sesampai di lokasi, Edi melihat beberapa warga lain sudah tumbang tertembak, sementara para penumpang pesawatnya dibekuk ramairamai.“Kronologinya begini. Maklum orang kampung, lihat ada pesawat mendarat darurat begitu, berbondong-bondong deh ingin melihat, berkerumun. Rupanya mereka ingin menolong.
Enggak tahu persepsi awak pesawat lain, ditembakin deh tuh warga. Setelah peluru mereka habis, baru balik diserang, dipukulin, ditangkap,” jelasnya. Edi dan rekan-rekannya lalu membawa para tawanan ke tangsi polisi di Alun-Alun Bekasi. Setelah lapor ke komandannya, Sambas, Edi diperintah merawat para tawanan. Namun mendengar dua lusin tentaranya ditawan, Panglima Sekutu di Indonesia Letjen Philip Christison mengeluarkan ultimatum: dalam tempo 24 jam harus dikembalikan ke Jakarta. Ultimatum itu membuat marah sejumlah badan perjuangan. “Katanya (ultimatum Christison) kalau tidak dikembalikan, Bekasi akan dijadikan lautan api. Kan jadi panas rakyat Bekasi. Aturan mah harusnya dirawat, ya mereka dieksekusi anak-anak pemuda dan laskar. Dibacok-bacokin itu tawanan pada 3 Desember. Mayat-mayatnya dibuang di belakang tangsi polisi pinggir kali (sungai).” Menurut laporan Inggris yang dikutip McMillan, pelaku eksekusi bukan tentara republik, melainkan Laskar Banteng Hitam. Laskar yang sama juga aktor di balikUngu) untuk mencari mayat-mayat para rekan mereka yang dieksekusi, hingga terjadi pertempuran pada 29 November 1945. Ungu) untuk mencari mayat-mayat para rekan mereka yang dieksekusi, hingga terjadi pertempuran pada 29 November 1945. “Sekitar 600 rumah dibakar.
Seperti juga gedung tangsi polisi. Hanya kawasan pecinan yang tak dibakar,” tulis McMillan. Keterangan McMillan itu langsung dibantah Ang Tjui Ho alias Empek, warga etnis Tionghoa yang ditemui Historia medio Oktober 2016. “Pasukan Inggris pada gedorgedorin rumah, termasuk rumah saya. Waktu itu saya lagi di rumah sendiri. Ibu saya masih dagang di Pasar Lama. Saya ikut diseret keluar rumah. Semua diinterogasi pakai bahasa India. Mereka hanya tahu bahasa Indonesia, ‘Pemuda, Pemuda’ karena mereka mencari pemuda (laskar) yang membantai penumpang Dakota,” kata Empek. Empek tak diinterogasi lebih jauh karena menunjukkan tanda pengenal warga Tionghoa yang dipegangnya sejak zaman Jepang. “Habis itu saya disuruh pergi karena rumah akan dibakar. Setiap bangunan di pecinan juga ikut dibakar, kecuali kelenteng di Pasar Lama,” lanjutnya. Empek baru bisa bertemu ibunya di dekat stasiun, tempat warga dikumpulkan. Ribuan warga yang dikumpulkan itu lantas diperintahkan mengungsi ke luar kota. Empek, yang dikabarkan sudah tiada pada Oktober 2017, dan ibunya memilih mengungsi ke rumah famili mereka di Klender. Akibat tindakan itu, Inggris selaku pemegang kendali di Asia Tenggara langsung mendapat tekanan internasional.
Sejumlah suratkabar mancanegara seperti The Mercury (14 Desember), Army News (15 Desember), dan Truth (16 Desember) melansir kecaman atas tindakan Christison itu. Panglima Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara Laksamana Lord Louis Mountbatten pun menyesali tindakan Chris“Christison mengklaim mendapat persetujuan HFC Walsh, penasihat politik Mountbatten, bahwa pembakaran Bekasi merupakan operasi yang diperlukan. Tetapi Mountbatten merespons bahwa peristiwa itu sangat disesalkan dan jika dia diberitahu lebih awal mungkin tak semestinya terjadi,” ungkap McMillan. Perdana Menteri Sutan Sjahrir langsung memprotes keras pembumihangusan Bekasi. “Pembakaran habis-habisan Bekasi adalah soal yang menyedihkan pemerintah…hukuman ini sangat melalui batas. Juga dalam dunia internasional tindakan tentara Serikat (Sekutu) telah sangat dicela, malahan disamakan dengan tindakan Jerman di Lidice. Maka dari itu pemerintah memajukan protes terhadap
Seperti berdasarkan artikel Historia.id